• RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin

Selasa, 14 September 2010

Sang Presiden (1)

Posted by mastong On 12.42 No comments

Malam yang begitu baik menemaniku perlahan mulai bersikap dingin. Nafasnya mulai mendekap daging yang menyelimuti tulang-tulangku. Aku menghela. Bukan dengan sikapnya, tetapi lebih karena aku merasa sedikit lega karena telah mencurahkan semua sesakku padanya.

Aku bergegas. Beringsut dari lantai dingin langgar kecil di tepi sawah. Terlintas tempat tinggal kecil depan sungai dibalik sawah ini. Aku seakan menghadapi kenyataan yang ada di setiap kepala manusia di negara ini. Melihat luasnya alam dan aku hanya terhanyut di gubuk penyelamat, dihimpit sungai yang coklat dan padi yang dengan rendah hati menunduk melihatku.

Ketika melintasi sawah aku seakan melihat wajah yang aku simpan dalam jiwaku. Wajah yang tidak akan mungkin terhapus dengan mudah dari ingatan. Wajah yang kulitnya pernah diguliri keharuan ketika tanganku menyapa tangannya. Ketika bibirku dengan penuh riang meluncurkan kata-kata yang telah ditunggunya. Kata-kata yang menyuburkan kasihnya padaku. Kata-kata yang tidak akan pernah ditukarnya dengan emas manapun. Kata-kata yang juga telah membawanya menemui Yendri. Kata-kata yang menculiknya dari hidupku. Kata-kata yang membuatku menyesali kehidupanku. Kata-kata yang selalu dinantinya!

Wajah itu begitu teduh. Aku sering berlindung dari sengatan panas dunia politik di sana. Mencoba memejamkan mata dan melupakan bayang yang terjadi. Dia selalu bisa membawaku melayang dengan usapan tangannya di kepalaku. Sungguh aku sangat merindukannya. Sangat-sangat merindukannya.

Andaikan aku dapat mengungkapkan keinginanku kepada Tuhan, aku akan bernegoisasi tentang apa yang terjadi. Aku akan meminta kepada Tuhan agar bisa selalu bersamanya. Bersamanya hingga kami tua dan renta oleh matahari dan bulan yang saling berkejaran.

Tidak ada hal yang bisa menenangkanku selain belaiannya. Dia tahu benar bagaimana memanjakanku. Dia begitu mengerti setiap gelombang emosiku. Dia begitu menikmati berselancar dalam deru emosiku. Dia tidak pernah menghadangnya. Dia selalu bisa mengendarainya. Benar-benar menikmatinya!

Bahkan ketika lututku tidak lurus lagi, dia berusaha meluruskannya dan mengangkatku dengan senyum yang mengingatkanku tentang kepercayaan. Mengingatkanku bahwa dia selalu ada ketika aku pulang. Mengingatkanku bahwa dia akan selalu memelukku ketika aku menggigil. Menyeka wajahku ketika layu. Membasuh kakiku ketika lumpur keirian dan kedengkian menahan langkahku memperjuangkan hidup bangsaku. Senyum yang akan selalu menyalakan api kehidupan dalam hidupku. Senyum yang akan selalu meraih tempat terhormat dalam hidupku.

Dia begitu sempurna. Rambutnya yang panjang dengan sedikit gelombang seperti memahkotai kepala yang didalamnya telah melahirkan pemikiran-pemikiran tentang kesederhanaan dan cara pandang tentang kebahagiaan dalam hidup. Bukan kebahagiaan semu yang digagas oleh para pakar. Bukan pula kesederhanaan yang diajarkan oleh tokoh-tokoh agama kita. Kebahagiaan yang bersumber karena kita memang bahagia. Bukan karena paradigma dunia tentang bahagia menyatakan seperti itu. Tidak. Dia juga tidak mengajarkan kesederhanaan hidup dari ucapan-ucapannya yang bijak atau dari tuturan-tuturan lembut tentang berbagi dengan sesama.

Kesungguhannya melayaniku telah mengajariku bagaimana bersikap didepan bangsaku. Keriangannya mengelola amarahku telah mendidikku bagaimana cara menghargai kebahagiaan hidup. Sungguh dengan cara yang sederhana. Cara yang tak pernah kau sadari telah membukakan pikiran dan hatimu bahwa cinta itu ada. Cara yang hanya bisa kau lakukan hanya dengan satu syarat. Kepercayaan.

0 comments:

Posting Komentar